Prosedur Pengadaan di bidang TI

Kamis, 14 April 2011

Prosedur Pengadaan

Proses pengadaan merupakan proses yang vital dalam siklus tata kelola TI pada sebuah organisasi. Pengadaan pada umumnya merupakan salah satu tindak lanjut dari kegiatan perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga suatu proses pengadaan pastilah (seharusnya) juga memiliki justifikasi dan business case yang cukup kuat dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Namun demikian di sisi lain, proses pengadaan TI juga memiliki kompleksitas tersendiri, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Misalnya bagaimana strategi pemilihan yang akan digunakan dalam pemihan produk dan/atau vendor yang terkait. Bagaimana kriteria evaluasinya, bagaimana bobot dari masing-masing kriteria tersebut, bagaimana lingkup kerja (scope of work) dari kandidat peserta lelang, bagaimana spesifikasi yang dibutuhkan, dan sebagainya Demikian juga mengenai aspek non teknisnya, seperti permasalahan komersial serta legal administratifnya.

Pengadaan barang/jasa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D), dan dari tahun ke tahun umumnya selalu meningkat. Demikian juga halnya komponen dari belanja APBN/D berupa belanja modal (investasi)/belanja langsung, yang pelaksanaannya dilakukan melalui pengadaan barang/jasa.

Untuk merealisasikan belanja modal/langsung dilakukan melalui pengadaan barang dan jasa yang melibatkan berbagai pihak, yaitu pengguna, adalah pihak yang membutuhkan barang/jasa; dan penyedia barang/jasa, adalah pihak yang melaksanakan pekerjaan atau layanan jasa, yang dilakukan berdasarkan permintaan atau perintah resmi atau kontrak dari pihak pengguna.Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkannya, maka masing-masing pihak harus tunduk pada etika serta norma/peraturan yang berlaku terkait proses pengadaan barang/jasa.

Pengadaan barang/jasa sangat penting untuk menyerap anggaran. Dan untuk mendapatkan barang/jasa dapat melalui swakelola atau pelelangan.Untuk menghindari hal-hal berlawanan dengan hukum, maka aspek hukum dalam pengadaan barang/jasa perlu dipahami, karena pemahaman terhadap aspek hukum akan dapat menyesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pemahaman terhadap aspek hukum juga akan mengetahui akibat atau kelemahan/kekurangan dalam Pelaksanaan pengadaan barang/jasa, yang akan berguna untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Bidang hukum yang terkait dengan Pengadaan Barang /Jasa

a. Bidang Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Negara

Hukum Administrasi Negara mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna pada proses persiapan sampai dengan proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa.

Hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang/jasa terjadi pada proses persiapan pengadaan sampai dengan proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa instansi pemerintah merupakan hubungan hukum administrasi negara (HAN) atau tata usaha negara. Dalam proses ini, pengguna barang/jasa instansi pemerintah (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran bertindak sebagai pejabat negara/daerah bukan mewakili negara/daerah sebagai individu/pribadi. Semua keputusan yang dikeluarkan pada proses ini merupakan keputusan pejabat negara/daerah atau publik.

Karena keputusan pengguna barang/jasa instansi pemerintah merupakan keputusan pejabat negara/daerah, maka apabila ada pihak yang dirugikan (penyedia barang/jasa, atau masyarakat) akibat dikeluarkannya keputusan tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, terakhir UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:

1. Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.

2. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) adalah:

a) Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku jika:

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal. Misalnya, Sebelum keputusan penunjukan pemenang tender dikeluarkan, seharusnya diberi ‘masa sanggah’. Penunjukan pemenang sebelum masa sanggah selesai, maka Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal.

2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undanganyang bersifat material/substansial. Misalnya, Pejabat Badan Tata Usaha Negara telah mengabulkan dengan menerbitkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan, padahal pengeluaran keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substansial.

3) Dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Misalnya, Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003, wewenang untuk menetapkan pemenang adalah PPK namun dibuat oleh panitia.

b) Penyalahgunaan wewenang

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Artinya tindakan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang sengaja dilakukan diluar kewenangan terkait proses pengadaan. Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah PA/KPA, Kepala Daerah, PPK, Tim Pendukung, dan Tim Teknis. Jadi mengeluarkan keputusan yang melebihi kewenangannya merupakan penyalahgunaan wewenang. Misalnya, Keputusan pemenang kepada usaha non kecilyang seharusnya pengadaan barang/jasa diklasifikasikan/diperuntukkan kepada pengusaha kecil.

c) Berbuat sewenang-wenang

Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu, seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputuisan tersebut.

Oleh karena itu pengambilan atau tidak pengambilan keputusan itu oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha sebagai berbuat sewenang-wenang. Padahal menurut Pasal 53Undang No. 5 Tahun 1986, terakhir UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melarang Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara berbuat sewenang-wenang dalam mengeluarkan atau tidak mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Misalnya, Dalam hal keputusan yang digugat itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka keputusan demikian terjadi atas kemauan sendiri, bukan atas dasar hukum, dan karenanya merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang.

b. Bidang Hukum Perdata

Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang /jasa sejak penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak pengadaan barang/jasa. Hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia yang terjadi pada proses penandatanganankontrak pengadaan barang/jasa sampai dengan proses berakhirnya kontrak merupakan hubungan hukum perdata khususnya hubungan kontraktual.

Dalam proses ini pengguna barang/jasa adalah negara yang diwakili oleh PA/KPA/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/Pejabat Pengadaan atau ULP sebagai individu/pribadi. Sedangkan penyedia barang/jasa adalah orang atau badan hukum (privat).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada buku III tentang Perikatan, dimana disebutkan bahwa perikatan dapat lahir karena undang-undang atau perjanjian. Perjanjian dalam pengadaan barang/jasa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan penerima suatu harga tertentu. Perjanjian merupakan dasar pelaksanaan kegiatan. Perjanjian menurut R. Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanjiuntuk melakukan sesuatu hal.

Menurut hukum perdata ditentukan tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya perjanjian, seperti yang tercantum pada Pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut.

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Jadi untuk sahnya perjanjian itu harus memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, perjanjiannya berupa kontrak pengadaan barang/jasa yaitu berupa perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasaatau pelaksana swakelola.

Untuk melaksanakan perjanjian tersebut, maka kontrak pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode atau cara pengadaan melalui swakelola, dan/atau pemilihan penyedia barang/jasa.

Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan

Hukum perjanjian yang sifatnya timbal balik dimana hak pada satu pihak merupakan kewajiban pihak lain dan sebaliknya. Hak dan kewajiban para pihak adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa dalam melaksanakan kontrak.

Di dalam perjanjian pemborongan maka hak-hak dan kewajiban para pihak adalah Pengguna barang/jasa menerima hasil pekerjaan sesuai dengan perjanjian. Kewajibannya adalah membayar harga dari pekerjaan yang telah direncanakan. Hak pihak pemborong adalah menerima pembayaran sesuai dengan harga kontrak dari pihak yang memborongkan pekerjaan. Kewajiban pemborong adalah menyelesaikan pemborongan sesuai dengan harga kontrak.

Hak dan kewajiban para pihak di atas bisa disebut juga sebagai hak dan kewajiban yang utama dari para pihak, sementara hak dan kewajiban tambahan diatur secara khusus dalam kontrak pemborongan.

c. Bidang Hukum Pidana

Hukum pidana mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna sejak tahap persiapan pengadaan sampai dengan selesainya kontrak pengadaan barang dan jasa. Hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia yang terjadi pada tahap persiapan pengadaan sampai dengan selesainya kontrak merupakan hubungan hukum pidana.

Hukum pidana atau The Criminal Law lazim disebut pula sebagai hukum Kriminal, karena memang persoalan yang diaturnya adalah mengenai tindakan-tindakan terhadap kejahatan-kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan perilaku anggota masyarakat dalam pergaulan hidup.

Ruang lingkup Tindakan/perbuatan yang dilakukan pengguna barang/jasa maupun penyedia barang/jasa adalah segala perbuatan atau tindakan yang melawan hukum/tidak sesuai peraturan perundangan yang berlaku mulai tahap persiapan sampai dengan selesainya kontrak. Hukum pidana akan melindungi segala hak dan kepentingan pengguna dan penyedia barang.

Aspek hukum pidana dalam proses pengadaan barang/jasa bahwa hukum pidana diterapkan kalau sudah ada pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pihak pengguna barang/jasa maupun pihak penyedia barang/jasa dalam proses pengadaan barang/jasa. Hal ini sesuai dengan asas-asas hukum ‘Geen straf zonder schuld’, tiada hukuman tanpa kesalahan.

Tindak pidana dalam pengadaan barang/jasa titik rawan terjadinya penyimpangan seperti pada tahap perencanaan pengadaan adanya indikasi penggelembungan anggaran atau mark-up,rencana pengadaan yang diarahkan, rekayasa pemaketan untuk KKN, penentuan jadual pengadaan yang tidak realistis.

Selain itu titik rawan tindak pidana tersebut di atas bisa juga terjadi pada tahap pembentukan panitia lelang, tahap prakualifikasi perusahaan, penyusunan dokumen lelang, tahap pengumuman lelang, tahap pengumuman calon pemenang, tahap sanggahan peserta lelang, tahap penunjukan pemenang lelang, penandatanganan kontrak dan penyerahan barang/jasa yang tidak memenuhi syarat dan bermutu rendah.

Bidang hukum yang mengatur hubungan hukum antara pejabat negara dan masyarakat yang merupakan hukum administrasi negara atau tata usaha negara, dimana apabila terjadi kesalahan administrasi bisa membuat pejabat harus bolak-balik berurusan dengan polisi atau kejaksaan (peradilan pidana), bahkan tidak sedikit yang harus berakhir di bui.

Demikian halnya pada bidang hukum perdata, yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum (Pengguna Barang/jasa) dengan subjek hukum lainnya, (Penyedia Barang/Jasa)terjadi wanprestasi, atau seorang debitur (penyedia barang/jasa) cedra janji atau lalai untuk memenuhi kewajibannya, sehingga terdapat unsur perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi negara.

III. Peraturan Pelaksanaan yang Terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa

Untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan pokok mengenai pengadaan barang/jasa adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Sedangkan peraturan tambahan atau yang terkait antara lain adalah

1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi dan PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi.

4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, jo Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan BebasKKN.

6) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

7) Peraturan-peraturan lainnya yang terkait, misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah, yaitu peraturan gubernur, bupati, atau walikota.

8) Khusus untuk pengadaan barang/jasa baik sebagian atau seluruhnya berasal dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang diterima oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah berpedoman kepada Perpres No. 54 Tahun 2010. Apabila terdapat perbedaan antara Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dengan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang berlaku bagi Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri, maka para pihak dapat menyepakati tata cara pengadaan yang akan dipergunakan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukum adalah adanya asas hukum yang mengatakan bahwa “Lex superior derogate legi inferiori”, undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya.

Bentuk Korupsi dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa

Dikutip dan disarikan dari Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006

Dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah, ada beberapa bentuk korupsi. Bentuk yang paling sering dilakukan dan terang-terangan adalah penyuapan dan pemberian uang pelicin (uang rokok, uang bensin dan sebagainya) hingga bentuk lainnya yang lebih halus dalam bentuk korupsi politik.

Penyuapan vs Uang Pelicin. Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap. Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah terutama yang terkait persoalan hukum (misalnya dalam pemeriksaan bagasi oleh pihak bea cukai) atau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak. Kedua bentuk kejahatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi yang dilarang di hampir seluruh negara.

Suppy vs Demand. Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai “korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu melakukan apa saja kecuali bersikap “pasif”.

Kartel atau Kolusi. Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.

Struktur vs Situasional. Korupsi dalam konteks bisnis sering berbentuk “struktural”, yang berarti telah direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi “situasional” adalah tanpa direncanakan, misalnya ketika seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya agar tidak memberikan surat tilang.

Korupsi dan resiko korupsi dapat terjadi dalam seluruh proses pengadaan barang dan jasa. Korupsi dapat terjadi dalam tahapan-tahapan berikut:

§ Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan,

§ Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender,

§ Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender,

§ Tahap pelaksanaan pekerjaan,

§ Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).

Manifestasi dan resiko korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dapat berbeda di setiap tahapnya. Diperlukan strategi yang tepat untuk mencegah atau meminimalisir potensi korupsi sehingga dapat dideteksi sejak awal. Selain itu, diperlukan adanya upaya pencegahan dan pengawasan (atau due deligence) untuk menanggulangi munculnya “tanda-tanda bahaya” yang diperkirakan akan berpotensi korupsi.

Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis resiko korupsi adalah menemukenali dan membedakan masalah yang menyebabkan korupsi, apakah disebabkan sistem yang tidak efisiensi atau justru pelaksanaan sistemnya yang keliru. Apabila keputusan yang dihasilkan kurang memuaskan, maka pendekatan analisis berikutnya harus ditinjau dari sisi alasan penyebab kejadiannya, terutama jika diduga ada aksi kejahatan.

Tak semua masalah efisiensi dapat dikaitkan dengan korupsi, demikian pula sebaliknya. Disisi lain, hal yang terkadang terlihat sebagai tindakan korupsi dapat disebabkan oleh sebuah kesalahan kecil atau adanya kelemahan kapasitas pelaksananya. Meski upaya untuk pencegahan korupsi masih lemah, namun mungkin kelak akan diperlukan dalam sebuah reformasi sistem. Sebagai contoh, jika reformasi bertujuan mengefisiensikan proses pengadaan barang dan jasa, tetapi mengacuhkan aspek transparansi dan penyebarluasan informasi, dikhawatirkan rekomendasi yang dihasilkan akan menjadi bumerang ketika dilakukan evaluasi. Demikian pula sebaliknya. Proses pengadaan barang dan jasa yang transparan tetapi tidak efisien juga akan berdampak pada hasil dan target yang diharapkan karena proses yang terlalu lama. Berikut ini adalah contoh manifestasi dan resiko korupsi yang paling sering dijumpai dalam setiap tahapan:

Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan

§ Ketidakharusan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat,

§ Menerapkan sistem baru (yang potensial menawarkan suap) yang justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran yang sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (yang justru meminimalkan korupsi),

§ Adanya investasi yang secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada,

§ Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikan agar melebihi batas kebutuhan,

§ Suap untuk politisi dan uang “terima kasih” (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra – perjanjian tertentu dengan kontraktor),

§ Konflik kepentingan (conflict of interest- termasuk revolving door movement) dimana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.

Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender

§ Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung,

§ Menaikan atau mengurangi jumlah barang atau jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor,

§ Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, yang bertujuan menyembunyikan rencana-rencana korupsi,

§ Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender,

§ Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.

Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender

§ Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan “uang terima kasih” (kickback) atau adanya konflik kepentingan),

§ Seleksi kriteria yang sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran didalamnya,

§ Adanya pemberian informasi yang bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak diberikan kepada seluruh peserta tender,

§ Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen yang rahasia tersebut justru disebarluaskan sehingga menyebabkan proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan,

§ Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparasi hasil evaluasi penawaran),

§ Pembayaran harga yang sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender yang tidak benar.

Tahap pelaksanaan pekerjaan

§ Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang yang lebih rendah, kualitas yang kurang baik atau berbeda dari spesifikasi dari kontrak yang telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan yang memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya,

§ Re-negosiasi kontrak atau penggantian klausul kontrak yang mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan,

§ Harga yang meningkat “akibat perubahan kontrak” sebagai dampak atas perubahan spesifikasi yang disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi,

§ Munculnya tuntutan yang dibuat-buat,

§ Pengawas atau pemantau telah dibeli atau tidak independen agar mereka membuat laporan yang tidak benar atau memalsukan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya,

§ Negosiasi ulang atau penambahan perubahan yang substansial didalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.

Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).

§ Akuntan dan auditor yang melakukan audit tidak jujur atau telah “dibeli” dan meluluskan banyak bukti-bukti akuntansi yang tidak benar.

Sumber :

http://ivitc.com/index.php?option=com_content&view=category&id=9&Itemid=18

http://www.keuanganlsm.com/2011/03/19/bentuk-korupsi-dalam-proses-pengadaan-barang-dan-jasa/

http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pontianak/index.php?option=com_content&view=article&id=60:aspek-hukum-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah&catid=10:umum&Itemid=1

0 komentar:

Posting Komentar